Sejarah Pemikiran Fiqih Ijtihad Hukum Imam Ahmad Ibn Hanbal




MAKALAH
SEJARAH PEMIKIRAN FIQIH
IJTIHAD HUKUM IMAM AHMAD IBN HANBAL




Disusun Oleh:
Chalimah Retnaningtyas                    163231040
Naim Musahri Romadhon                  163231054
Salma Tiara Rahmani                         163231062




JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2017



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Dalam penetapan hukum islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi pedoman dalam penetapan hukum dalam menyeslesaikan problematika umat islam. Namun tidak semua penyelasaian problematika, terdapat di dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh sebab itu diperlukan ijtihad dari para alim ulma’  untuk menyesaikan problematika tersebut. Adanya proses ijtihad tersebut mendorong berkembangnya hukum Islam dan terbentuknya beberapa mahzab Fiqih. Diantaranya mahzab Imam Ahmad ibn Hanbal.
Dalam makalah ini akan dipaparkan lebih jauh tentang riwayat hidup dari Ahmad ibn Hanbal, Tipologi Pemikiran Ahmad ibn Hanbal, Metode ijtihad Imam Ahmad ibn Hanbal, dan  Karya-karya Imam Ahmad ibn Hanbal Serta Guru-guru dan Murid-muridnya, Perkembangan dan Penyebaran Mazhabnya.

2.      Rumusan Masalah
a)      Bagaimana riwayah hidup Ahmad ibn Hanbal ?
b)      Bagaimana Tipologi Pemikiran Ahmad ibn Hanbal ?
c)      Bagaimana Metode ijtihad Imam Ahmad ibn Hanbal ?
d)      Bagaimana Karya-karya Imam Ahmad ibn Hanbal Serta Guru-guru dan Murid-muridnya, Perkembangan dan Penyebaran Mazhabnya ?








BAB II
PEMBAHASAN 
 
A.    Riwayat Hidup Ahmad ibn Hanbal
Mazhab Hanbali sering diidentikkan dengan tokoh penggagasnya yaitu Ahmad ibn Hanbal. Nama lengkapnya Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Usd ibn Idris ibn Abdullah ibn Anab ibn Auf ibn Qasith ibn Mazin ibn Syaiban. Imam Hanbali dilahirkan pada bulan Robi’ul Awal tahun 164 H, di Baghdad, Bapak dan Ibunya berasal dari Kabilah Asya-Bani bagian dari Kabilah di Arab dan wafat tahun 241 H (855) dan jasadnya di kuburkan di Bab Harb.[1]
 Tempat kediaman ayah dan ibunya sebenarnya di kota Marwin, wilayah Khurasan, tetapi di kala ia masih dalam kandungan, ibunya kebetulan pergi ke Baghdad dan disana ia dilahirkan. Imam  Ahmad Hanbali lahir di tengah-tengah keluarga yang terhormat, yang memiliki kebesaran jiwa, kekuatan kemauan, kesabaran dan ketegaran menghadapi penderitaan. Ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan, oleh sebab itu, Imam Ahmad Hanbali mengalami keadaan yang sangat sederhana dan tidak tamak.[2]
Sejak kecil sudak tampak minatnya kepada Agama, beliau menghapal Al-Qur’an, mendalami bahasa Arab, belajar Hadist dan belajar sejarah Nabi. Imam ahmad ibn Hanbal adalah Imam yang ke-Empat dari Fuqaha’ Islam. Ia adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur budi pekerti yang tinggi. Ia juga terkenal akan sifat Wara’, Zuhud, Amanah dan sangat kuat berpegang kepada hak.[3]
Imam Ahmad ibn Hanbal belajar Ilmu Fiqh dari Abu Yusuf muridnya Abu Hanifah dan dari Imam Syafi’i. Imam Ahmad ibn Hanbal adalah salah seorang murid Imam Syafi’i yang paling setia, sehingga ia tidak pernah berpisah dengan gurunya ke manapun sang guru pergi kecuali setelah Imam Syafi’i pindah ke Mesir.
B.     Tipologi Pemikiran Ahmad ibn Hanbal
Predikat sebagai imam tradisional tampaknya “tepat” bagi imam ahmad karena faktor multialiran dan pemahaman pada saat itu yang memengaruhi pemikiran tradisionalnya. Hal ini karena dalam beberapa hal, Imam Hanbali menggunakan mushlahat mursalahat. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Zahrah, bahwa, “Imam Hanbal menggunakan mushlahat mursalahat sebagai bagian dari qiyas karena mushlahat mursalahat adalah qiyas terhadap kemashalatan umum yang memberikan manfaat yang didasarkan pada sekumpulan nash Al-Qur’an dan nubuwah, sebagaimana Imam Maliki menggunakannya.”
Corak pemikiran Hanbali tidak lepas dari akumulasi pemikiran yang terjadi sebelumnya. Imam Hanbali memandang bahwa logika saja tidak cukup. Perpaduan antara tekstual dan kontekstual pun melahirkan kegamangan dan kebablasan. Cara yang paling aman adalah kembali kepada teks-teks secara lahiriah. Tak heran, jika ia dijuluki, mazhab yang beraliran fundamentalis (terikat pada norma-norma yang ada).[4]

C.     Metode ijtihat Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menentukan hukum antara lain :
a)      Nas dari Al-Qur’an dan sunnah yang shohih
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan Sunah dari Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu tersebut.
b)      Fatwa para Sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari Hadist Shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka.
c)      Fatwa para sahabat Nabi yang timbul dalam perselisihan di antara mereka dan diambilnya yang lebih dekat kepada nash Alqur’an dan Sunnah. Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak menemukan fatwa para sahabat Nabi  yang disepakati sesama mereka, maka beliau menetapkan hukum dengan cara memilih dari fatwa-fatwa mereka yang ia pandang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan sunnah.
d)      Hadist mursal dan hadist dha’if
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan dari Al-Qur’an dan sunnah yang shahih serta fatwa-fatwa sahabat yang disepakati atau diperselisihkan, maka beliau menetapkan hadist mursal dan hadist dha’if. Yang dimaksud dengan hadist dha’if oleh Imam Ahmad ibn Hanbal adalah karena ia membagi hadits dalam dua kelompok: shahih dan dha’if, bukan kepada: shahih, hasan dan dha’if seperti kebanyakan ulama’yang lain.
e)      Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash, baik Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih serta fatwa-fatwa sahabat, maupun hadits dhaif dan mursal, maka Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas. Kadang-kadang Imam Ahmad ibn Hanbal pun menggunakan Al-Mashalih Al-Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, Imam Ahmad ibn Hanbal pernah menetapkan hukum ta’zir terhadap orang yang selalu berbuat kerusakan dan menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap orang yang minum khamar pada siang hari di bulan Ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh pengikut-pengikutnya. Begitu pula dengan istihsan, istishhab dan sadd al-Zara’i, sekalipun ia sangat jarang menggunakannya dalam menetapkan hukum.
Imam Ahmad ibn Hanbal mengkaji serta meneliti dengan cermat hadits-hadits yang ada kaitannya dengan halal dan haram. Begitu pula terhadap sanad hadits-hadits itu, tetapi beliau agak longgar sedikit dalam menerima hadits-hadits yang berkaitan dengan ajaran-ajaran akhlak atau keutamaan-keutamaan dalam amal ibadah atau adat istiadat yang terpuji, sebagaimana Imam Ahmad ibn Hanbal  menyebutkannya sebagai berikut: “apabila kami terima dari Rasulullah hadits yang menerangkan tentang Sunnah dan Hukum-hukum, kami menelitinya dengan sangat hati-hati dan begitu juga sanad-sanadnya , tetapi apabila kami menerima hadits tentang keutamaan-keutamaan amal ibadah atau masalah yang tidak berkaitan dengan hukum, kami longgarkan sedikit”.[5]
Dengan demikian, sistematika sumber hukum dan ijtihad mazhab Hanbali (Imam Ahmad),  sebagaimana diringkas oleh Salim Ali Ats-Tsiqafi, terdiri atas:
1)      Nuhus (Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Nash Ijma).
2)      Fatwa-fatwa sahabat.
3)      Hadits-hadits mursal dan dha’if.
4)      Qiyas.
5)      Istihsan.
6)      Sadd adz-dzarat.
7)      Istishab.
8)      Al-mashlahat al-mursalat.
Melihat dasar-dasar Imam Hanbali, tampak bahwa penggunaan rasio dipersempit sampai batas tertentu. Bahkan, dalam analisis Mun’im A. Sirry, dalam banyak hal, pemikiran Imam Hanbali dirujukkan pada fatwa-fatwa sahabat, tanpa membedakan apakah fatwa itu berdasarkan As-Sunnah atau atsar atau ijtihad. Meskipun fatwa itu merupakan rujukan kedua setelah As-Sunnah. Berbeda dengan Imam Asy-Syafi’i, apabila terjadi ta’arud antara hadits dan fatwa sahabat, ia mengambil hadis. Apalagi Imam Hanafi tidak mengunakan fatwa sahabat kecuali setelah diketahui melalui qiyas. 
Berdasarkan penelitian Mushtafa Zaid disamping dasar ijtihad Imam Ahmad ibn Hanbal yang dikemukakan di atas, fatwa yang dilakukan Ahmad ibn  Hanbal banyak menggunakan metode istihslah sekalipun tidak sepopuler Imam Malik. Pada perkembangan selanjutnya, pengikut Ahmad ibn Hanbal menegaskan bahwa metode ini tidak masuk sebagai dalil. Mereka memasukkan metode ini ke dalam kelompok qiyas secara  umum.[6] 
 
D.    Karya-karya Imam Ahmad ibn Hanbal Serta Guru-guru dan Murid-muridnya, Perkembangan dan Penyebaran Mazhabnya
            Imam Ahmad ibn Hanbal selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik, ia juga seorang pengarang. Ia mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya. Di antara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut:
a.       Kitab al-Musnad.
b.      Kitab Tafsir Al-Qur’an.
c.       Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh.
d.      Kitab al-Muqaddam wa al-muakhkhar fi al-Qur’an.
e.       Kitab Jawabatu al-Qur’an.
f.        Kitab al-Tarikh.
g.      Kitab Manasiku al-Kabir.
h.      Kitab Manasiku al-Shaghir.
i.        Kitab Tha’atu al-Rasul.
j.        Kitab al-‘Illah.
k.      Kitab al-Shalah.
Ulama’-ulama’ besar yang pernah mengambil ilmu dari Imam Ahmad ibn Hanbal antara lain adalah: Imam Bukhari, Imam Muslim ibn Abi al-Dunya dan Ahmad ibn Abi Hawarimy.
Imam Ahmad ibn Hanbal menurut Shubhiy Mahmasaniy secara mapan mengajarkan ajaran keagamaanya adalah di Baghdad. Kalau terbukti bahwa pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal ini tidak sebanyak Imam-imam mazhab lainnya, kiranya dapat dimengerti, karena untuk masyarakat yang sudah kompleks kehidupannya seperti di Baghdad bahkan di Irak pada umumnya, tentu tidak semudah masyrakat yang masih sederhana seperti di Madinah atau di Hijaz pada umumnya untuk dapat menerima hadits sebagai sumber hukum dalam menghadapi kehidupan. Mazhab Hanbali termasuk paling sedikit jumlah pengikutnya. Sampai dengan tahun 1968 tidak lebih dari 10 juta orang saja.
Tersiarnya Mazhab Hanbali, tidak seperti tersiarnya mazhab lainnya. Mazhab ini mulai tersebar di kota Baghdad tempat kediaman Imam Ahmad ibn Hanbal, kemudian berkembang pula ke negeri Syam. Oleh karena para sahabat Imam Ahmad ibn Hanbal  sebagian berada di Baghdad, maka berkembanglah mazhabnya dengan pesat di negeri ini yang disebarluaskan oleh murid-muridnya. Mazhab ini tidak berkembang keluar negeri irak, melainkan pada abad ke-Empat Hijriyah. Kemudian berkembang ke Mesir pada abad ke-Tujuh Hijriyah dan pada saat sekarang, pengikutnya makin sedikit.[7]
Imam Ahmad ibn Hanbal sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 183 H, ia pergi ke Kuffah, pada tahun 186 H, ia ke Bashrah dan pada tahun 197 H, ia ke Mekah. Negara dan kota yang pernah disinggahinya adalah Syam (Syiria) Yaman, Maroko, Al-Jazair, Persia dan Khurasan. Di samping menuntut ilmu, ia juga mengumpulkan hadits-hadits Nabi yang ia pelajari sejak usianya 16 tahun. Guru-guru Imam Ahmad ibn Hanbal antara lain:
1.      Sufyan ibn Uyainah.
2.      Ibrahim ibn Saad.
3.      Yahya ibn Said Al-Qaththan.
4.      Husyaim ibn Basyir.
5.      Mu’tamar ibn Sulaeman.
6.      Ismail ibn Atiyah.
7.      Waqi ibn Al-Jarrah.
8.      Abdul Rahman Al-Mahdi.
9.      Imam Asy Syafi’i.
Murid-murid yang belajar pada Imam Ahmad ibn Hanbal adalah para ulama’ yang kemudian hari menyebarkan pikiran-pikirannya di berbagai plosok dunia Islam, antara lain:
1.      Abdullah ibn Ahmad, putra Ahmad ibn Hanbal.
2.      Abdullah ibn Said Al-Washyi.
3.      Ahmad ibn Hasan At-Tirmidzi.
4.      Ahmad ibn Saleh Al-Misri.
5.      Hasan ibn Sabah Al-Wasiti.
6.      Ishak ibn Hanbal.
7.      Abu Dawud As-Sijastani penulis kitab As-Sunan.
8.      Abu Bakar Al-Mawardzi.
9.      Muhammad ibn Ismail At-Tirmidzi.
10.  Al-Hasan ibn Ali Al-Iskafi.
11.  Al-Hasan ibn Muhammad Al-Anmati.
Di samping para ulama’ tersebut mazhab Hanbali dikembangkan oleh ulma’-ulama’ besar, antara lain:
1.      Ibn Qudamah (w. 620 H), pengarang kitab Al-Mughni.
2.      Syamsudin ibn Qudamah (w.682), pengarang kitab Asy-Syarhu Al-Kabir.
3.      Taqiyuddin Ahmad ibn Taimiyyah (w.728), pengarang kitab Majmu Al-Fatawa Ibn Taimiyah.
4.      Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, pengarang kitab I’lamul Muwaqqin dan kitab At-Thuruq Al-Hukmiyah fi Siyasah Asy-Syariyyah.[8]
Sekarang mazhab Hanbali adalah mazhab resmi dari pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai pengikut yang tersebar di Jazirah Arab, Palestina, Syria, dan Irak.[9]







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mazhab Hanbali sering diidentikkan dengan tokoh penggagasnya yaitu Ahmad ibn Hanbal. Nama lengkapnya Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Usd ibn Idris ibn Abdullah ibn Anab ibn Auf ibn Qasith ibn Mazin ibn Syaiban. Imam Hanbali dilahirkan pada bulan Robi’ul Awal tahun 164 H, di Baghdad, Bapak dan Ibunya berasal dari Kabilah Asya-Bani bagian dari Kabilah di Arab dan wafat tahun 241 H (855) dan jasadnya di kuburkan di Bab Harb.
 Sistematika sumber hukum dan ijtihad mazhab Hanbali (Imam Ahmad),  sebagaimana diringkas oleh Salim Ali Ats-Tsiqafi, terdiri atas:
1.      Nuhus (Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Nash Ijma).
2.      Fatwa-fatwa sahabat.
3.      Hadits-hadits mursal dan dha’if.
4.      Qiyas.
5.      Istihsan.
6.      Sadd adz-dzarat.
7.      Istishab.
8.      Al-mashlahat al-mursalat.
Sekarang mazhab Hanbali adalah mazhab resmi dari pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai pengikut yang tersebar di Jazirah Arab, Palestina, Syria, dan Irak.





DAFTAR PUSTAKA
H.A. Djazuli. 2005. “Ilmu Fiqih”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Supriyadi, Dedi. 2001. ”Fiqih Munakahat Perbandingan”. Bandung: CV Pustaka Setia.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. ”Pengantar Perbandingan Mazhab’. Jakarta: Logos Wacana ilmu.


[1] Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, Hal. 25.
[2] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos Wacana ilmu,1997), Hal. 137.
[3] H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, Hal. 132.
[4] Dedi Supriyadi, op.cit, Hal. 28.
[5] Huzaemah Tahido Yanggo, op.cit, Hal. 142-144.
[6] Dedi Supriyadi, op.cit, Hal.29-30.
[7] Huzaemah Tahido Yanggo, op.cit, Hal. 144-145.
[8] Dedi Supriyadi, op.cit, Hal. 26-27.
[9] Huzaemah Tahido Yanggo, op.cit, Hal 146. 


semoga bermanfaat 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STUDI FILOLOGI BAGI PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN

YUPA

Era Amir al-Mu'minin, 'Umar bin' Abd al-'Aziz